Kemaren malam, 20 soal PR pilihan ganda dengan pertanyaan panjang-panjang itu aku bacakan dan ku jawab dengan memberi petunjuk pada Sofi untuk menyilang huruf yang mewakili pilihan jawaban.
Kutarik nafas panjang tiap kali membaca soal.. “haruskah anak kelas 1 mendapat soal dengan kalimat subjek predikat dan objek yang panjang-panjang begini?” Dalam batin aku dongkol…
Sungguh..terpaksa aku lakukan ini, merujuk jawaban tanpa diskusi. Tanpa menerangkan arti dari pertanyaan dan maksud dari masing-masing pilihan jawaban.. terlalu panjang dan butuh waktu yang lama sedangkan PR itu harus segera selesai, aku harus membantu anak-anak lain yang juga hendak mengerjakan PR dengan model soal yang lebih banyak lagi dan variatif, ada pilihan ganda, memasangkan, isian dan menjawab anatomi pencernaan manusia.
Hhrrgghhh… Aku emosiii…
“Nek ga ngerjakno PR diapakno Jon?” Tanya Sofi yang mulai santai.
“Yo kudi ngerjakno..ruwet nek ga ngerjakno. Awakmu diapakno nek ga ngerjakno PR”
“Dibiji nol..paling dimarahi pisan” jawab Sofi yang masih kelas 1
“Loohh..nek aku yo diseneni..sembarang kalir..iso digepuk barang”jawab Jono.
“Hah? Digepok ta rek?”tanyaku pada mereka..
“Iya bun…”
“Nek sik kecil nggak bun..dimarahi..kl yang besar ya dipukul..”jelas Sofi
***
Aku merasa hal seperti ini sangat mencederai pendidikan itu sendiri. Sekolah untuk pintar, tapi di sana mereka mengalami pembodohan.
Beban seorang Sofi menurut pengamatanku sangat besar. Dia yang kesulitan mengenal huruf dan angka, angka 2 terbalik dengan huruf S, angka b dan d jadi sama menurutnya, mengeja satu suku kata saja butuh waktu yang tidak sebentar baginya, dan setiap hari membawa pulang PR.
Asal muasal PR tiap hari ini karena saat di kelas, Sofi tidak bisa mengerjakan tugas..jadi di bawa pulang untuk dikerjakan di rumah. Walinya angkat tangan, merasa tidak bisa apa-apa untuk ngajari Sofi berpesan dan minta tolong padaku.. karena efektif sekolah TK cuma 6 bulan selebihnya banyak ijin karena sang bapak Sofi sakit dan meninggal, kemudian paman yang diikutinya kecelakaan dan meninggal pula.
“Seperti sampeyan tau mbak, saya ini orang madura yang ga diajari sekolah sama orang tua, saya mending cari uang dan bayar daripada disuruh ngajari anak sekolah” cerita sang Bibi tentang kondisinya.
Aku menyanggupi untuk ngajari Sofi..tapi tidak sanggup untuk dibayar. Biarlah itu…
Bayanganku tentang belajar bagi anak kelas 1 sangatlah menyenangkan.. bermain, menyanyi, bergerak menari atau senam, tebak-tebakan kata, merangkai sesuatu..ah senangnya…
Begitu sudah mulai aktif sekolah semua buyar.. nyaris tiap hari PR dia bawa pulang…
Kadang tak tega aku mengajarinya..saat matanya tampak buram dan ngantuk..ditambah badannya yang selalu bergerak dan tidak bisa fokus, konsentrasinya yang tidak bagus…aaahhhh…
Sabaarrr….
Di hari awal PR nya masih enak dikerjakan.. dia belum bisa baca, huruf sering lupa, jadi selalu aku bacakan.. kadang berulang-ulang agar bisa dimengerti.
“Sampeyan kalau di sekolah diajari baca nggak?”
“Nggak..”jawabnya
“Kenapa buku LKSnya sudah panjang-panjang begini?”
“Nggak tahu Bun..”jawabnya lesu
Aahh..iya nak..kamu nggak tahu.. tapi mereka yang tahu pun tak mau tahu..seusiamu beban sekolah seharusnya tak begini.
Pelan-pelan aku menulis untuk ditirukannya..
Budi mana lali… (Bukan kalimat)
Dimulainya lama sekali..akhirnya dia menatapku dengan nanar
“bunn…aku lupa ini apa..lama bun ga sinau membaca.. huruf s ta ini bun” hatiku berdesir sedih ..
Iya nak..ayo ulangi lagi.. belajar huruf lagi yuk.. bunda juga lupa kalau saat ini tidak ada lagi ini budi… Ga jaman belajar mengeja, dianggap semua anak sudah bisa baca..
Omah Suket, 13 September 2017