Pagi ini aku menyetrika. Tidak suka menyetrika, tiba-tiba perlu saja menyetrika. Baju putih milik suami kusut sekali, juga beberapa baju yang saat lebaran kemarin dipakai. Setrika panas digerakkan ke kanan ke kiri ditemani suara tiga kawan mbois di podcast. Obrolan Ujik, Pak Sugiyo dan mbak Ayu membicarakan tentang nalar. Telah terjadi kesepakatan suara podcast dimandori mbak Ayu ngangeni bagiku dan suami. Kedua kalinya podcast diputar pagi ini.
Di bagian awal, tiga orang meluruskan benang-benang bahasan, mitos antara laki-laki perempuan dalam berlogika dan berperasaaan. Dilanjutkan tentang pendewaan nalar tidak tepat, kadang situasi memerlukan perilaku-perilaku berperasaan, kadang perlu logika, sesuai ketepatan kebutuhan. Nalar adalah pelayan, dia akan melayani sang juragan untuk membenarkan kemauannya. Kemampuan nalar ini sangat baik melakukan pelayanan sehingga dimungkinkan si pelayan naik menjadi majikan. Juragan sebenarnya dikendalikan oleh nalar, melakukan apa saja seolah-olah benar, tidak benar-benar benar.
“Setiap argumen punya dua sisi, sisi pro dan sisi kontra, dan dua-duanya pasti bisa dibenarkan oleh nalar. Dan kita mau pilih A atau B, dua-duanya bisa jadi rasional,” begitu kata Mbak Ayu mengutip tulisan Ibu Charlotte.
Baju digosok kemudian kulipat, aku masih mendengar suara mbak Ayu yang bilang ketika kita sudah punya keinginan dasar yang kuat sehingga kita memilih salah satu sisi, entah itu sisi pro atau sisi kontra, kemudian kita merasa sisi tersebut yang paling benar, terus kita nggak bisa melihat argumen sisi lain, nggak bisa melihat titik lemah dari argumen itu sendiri. Bikin tertawa, Ujik memisalkan tagar 2021 ganti hape. Ujik menjelaskan, “ketika kita menghadapi sisi yang kontra, buru-buru kita tolak, tidak ingin mencermatinya dengan seksama. Padahal, dua-duanya bisa lo diamati secara logis. Sejak awal kita ogah, wes kadung meyakini pendapat A, yang kita baca, yang kita yakini, kita sebarkan melulu itu saja. Kita enggan mengonvirmasi pendapat di kelompok seberang.” Pak Sugiyo menambahkan, “nalar itu baik sebatas membangun argumen, jadi dia mengekor kepada ide yang ada di depannya. Tapi tidak baik jika nalar itu berdiri sendiri memang. Dia menjadi sempurna kalau didukung ide yang baik.”
“Yang namanya nalar itu bisa membenarkan apapun yang kita putuskan di awal,” tandas Pak Sugiyo. Mbak Ayu lanjut mempertanyakan, tingkat pendidikan seseorang dan rasionalitasnya, “Nazi yang kita tahu kasus genosida besar sekali itu kan, malah membunuh jutaan orang. Dan orang-orang yang tergabung dalam Nazi itu bisa dibilang adalah orang-orang yang pinter-pinter, orang yang profesorlah, yang filsuflah, kaya gitu-gitu kan? Nah! Menariknya kayak gitu, jadi.. ini kan para profesor gitu ya, para orang-orang yang pinternya minta ampun, koq bisa ya melakukan kejahatan seperti itu?” Pak Sugiyo mengutip kata-kata CM, “nalar kita tidak bisa dijamin selalu benar, jadi.. sangat bisa keliru. Rentan terbujuk dan bisa kena pengaruh dari sana-sini. Jadi, nalar itu menurut CM itu pelayan yang setia. Dia bisa mencarikan bukti untuk apapun yang bisa dibenarkan oleh kehendak.” Podcast seru sekali ngobrolin nalar. Belum selesai, Pak Sugiyo mengutip lagi tulisan CM, “kalau orang cuma punya nalar yang tajam saja tapi tidak dibarengi oleh kehendak untuk berbuat baik, tidak disertai pengetahuan yang cukup untuk mengambil keputusan yang bijak, dia akan menjadi orang yang picik.”
Sahut-sahutan tiga orang. Ujik terdengar lagi, “Nalar ndak boleh berdiri sendiri, ya?” “ Ada nalar, ada nurani, dan ada akal budi. Kalau nalar ini memang sehebat apapun dia, dia kan sekedar piranti netral yang membantu kita untuk mencapai apa yang kita kehendaki. Malah kita bisa tugasi untuk menjawab tentang bagaimana sebaiknya melakukan sesuatu secara efisien, secara terukur. Tapi nalar bukanlah pemberi alasan mengapa kita patut melakukannya. Maka kita perlu piranti yang lain, kita harus menjaga kebersatuan antara nalar, nurani dan akalbudi. CM secara jelas memberikan arahan agar kehendak yang kuat sebagai produk dari akalbudi ini dan nalar yang terlatih juga harus didampingi oleh nurani yang terarah.”
Aku mendengar podcast, menyetrika dan berpikir. Pagi tadi tidak hanya keringetan, olah raga tangan, telinga bekerja, otakku juga sedang kuandalkan. Di bagian membahas sesat pikir, aku manggut-manggut, “betul sekali, iklan-iklan itu sengaja menggunakan cara menyesatkan pikiran agar hasrat membeli muncul mempengaruhi nalar, begitu juga berita-berita di media, banyak yang menyesatkan. Orang-orang digiring biar membenci atau menyukai, mempengaruhi orang untuk melakukan hal
irraasional meski nalar baginya benar. Ngeri juga tuh.” Aku ketakutan, kalau pikiranku membuatku jadi picik, bagaimana aku membicarakan banyak hal dengan anak-anakku. Dan aku senang, setrikaan selesai, baju-baju rapi mau dimasukkan lemari.