Sekelumit Podcast Nalar

Catatan Bunda

Pagi ini aku menyetrika. Tidak suka menyetrika, tiba-tiba perlu saja menyetrika. Baju putih milik suami kusut sekali, juga beberapa baju yang saat lebaran kemarin dipakai. Setrika panas digerakkan ke kanan ke kiri ditemani suara tiga kawan mbois di podcast. Obrolan Ujik, Pak Sugiyo dan mbak Ayu membicarakan tentang nalar. Telah terjadi kesepakatan suara podcast dimandori mbak Ayu ngangeni bagiku dan suami. Kedua kalinya podcast diputar pagi ini.

Di bagian awal, tiga orang meluruskan benang-benang bahasan, mitos antara laki-laki perempuan dalam berlogika dan berperasaaan. Dilanjutkan tentang pendewaan nalar  tidak tepat, kadang situasi memerlukan perilaku-perilaku berperasaan, kadang perlu logika, sesuai ketepatan kebutuhan.  Nalar adalah pelayan, dia akan melayani sang juragan untuk membenarkan kemauannya. Kemampuan nalar ini sangat baik melakukan pelayanan sehingga dimungkinkan si pelayan naik menjadi majikan. Juragan sebenarnya dikendalikan oleh nalar, melakukan apa saja seolah-olah benar, tidak benar-benar benar.
“Setiap argumen punya dua sisi, sisi pro dan sisi kontra, dan dua-duanya pasti bisa dibenarkan oleh nalar. Dan kita mau pilih A atau B, dua-duanya bisa jadi rasional,” begitu kata Mbak Ayu mengutip tulisan Ibu Charlotte.

Baju digosok kemudian kulipat, aku masih mendengar suara mbak Ayu yang bilang ketika kita sudah punya keinginan dasar yang kuat sehingga kita memilih salah satu sisi, entah itu sisi pro atau sisi kontra, kemudian kita merasa sisi tersebut yang paling benar, terus kita nggak bisa melihat argumen sisi lain, nggak bisa melihat titik lemah dari argumen itu sendiri. Bikin tertawa, Ujik memisalkan tagar 2021 ganti hape. Ujik menjelaskan, “ketika kita menghadapi sisi yang kontra, buru-buru kita tolak, tidak ingin mencermatinya dengan seksama. Padahal, dua-duanya bisa lo diamati secara logis. Sejak awal kita ogah, wes kadung meyakini pendapat A, yang kita baca, yang kita yakini, kita sebarkan melulu itu saja. Kita enggan mengonvirmasi pendapat di kelompok seberang.” Pak Sugiyo menambahkan, “nalar itu baik sebatas membangun argumen, jadi dia mengekor kepada ide yang ada di depannya. Tapi tidak baik jika nalar itu berdiri sendiri memang. Dia menjadi sempurna kalau didukung ide yang baik.”

“Yang namanya nalar itu bisa membenarkan apapun yang kita putuskan di awal,” tandas Pak Sugiyo. Mbak Ayu lanjut mempertanyakan, tingkat pendidikan seseorang dan rasionalitasnya, “Nazi yang kita tahu kasus genosida besar sekali itu kan, malah membunuh jutaan orang. Dan orang-orang yang tergabung dalam Nazi itu bisa dibilang adalah orang-orang yang pinter-pinter, orang yang profesorlah, yang filsuflah, kaya gitu-gitu kan? Nah! Menariknya kayak gitu, jadi.. ini kan para profesor gitu ya, para orang-orang yang pinternya minta ampun, koq bisa ya melakukan kejahatan seperti itu?” Pak Sugiyo mengutip kata-kata CM, “nalar kita tidak bisa dijamin selalu benar, jadi.. sangat bisa keliru. Rentan terbujuk dan bisa kena pengaruh dari sana-sini. Jadi, nalar itu menurut CM itu pelayan yang setia. Dia bisa mencarikan bukti untuk apapun yang bisa dibenarkan oleh kehendak.” Podcast seru sekali ngobrolin  nalar. Belum selesai, Pak Sugiyo mengutip lagi tulisan CM, “kalau orang cuma punya nalar yang tajam saja tapi tidak dibarengi oleh kehendak untuk berbuat baik, tidak disertai pengetahuan yang cukup untuk mengambil keputusan yang bijak, dia akan menjadi orang yang picik.”
Sahut-sahutan tiga orang. Ujik terdengar lagi, “Nalar ndak  boleh berdiri sendiri, ya?” “ Ada nalar, ada nurani, dan ada akal budi. Kalau nalar ini memang sehebat apapun dia, dia kan sekedar piranti netral yang membantu kita untuk mencapai apa yang kita kehendaki. Malah kita bisa tugasi untuk menjawab tentang bagaimana sebaiknya melakukan sesuatu secara efisien, secara terukur. Tapi nalar bukanlah pemberi alasan mengapa kita patut melakukannya. Maka kita perlu piranti yang lain, kita harus menjaga kebersatuan antara nalar, nurani dan akalbudi. CM secara jelas memberikan arahan agar kehendak yang kuat sebagai produk dari akalbudi ini dan nalar yang terlatih juga harus didampingi oleh nurani yang terarah.”

Aku mendengar podcast, menyetrika dan berpikir. Pagi tadi tidak hanya keringetan, olah raga tangan, telinga bekerja, otakku juga sedang kuandalkan. Di bagian membahas sesat pikir, aku manggut-manggut, “betul sekali, iklan-iklan itu sengaja menggunakan cara menyesatkan pikiran agar hasrat membeli muncul mempengaruhi nalar, begitu juga berita-berita di media, banyak yang menyesatkan. Orang-orang digiring biar membenci atau menyukai, mempengaruhi orang untuk melakukan hal
irraasional meski nalar baginya benar. Ngeri juga tuh.” Aku ketakutan, kalau pikiranku membuatku jadi picik, bagaimana aku membicarakan banyak hal dengan anak-anakku. Dan aku senang, setrikaan selesai, baju-baju rapi mau dimasukkan lemari.

Pesan

Catatan Bunda

“Hoooi..yang belakang jangan dorooong, jaangan dorooooong!”

Teriakan itu berasal lelaki yang menjaga pintu belakang bus yang tak dihiraukan oleh orang-orang yang berburu masuk untuk pulang.

Jum’at malam, akhir pekan dan liburan panjang, memperlihatkan geliat terminal hingga tengah malam. Aku tidak masuk bus itu dan hanya melihat dari jarak yang tak jauh. Orang-orang yang menyikut, mendorong, mengibas-rentangkan lengannya menghalang manusia lain demi mencapai tujuannya.

Aku masih menunggu, berdiri dan mengamati. Di jalur sebelah, berkali-kali bus datang dan berlalu namun aku ingat pesan suamiku, “naik patas, Nda. Ndak usah naik ekonomi, biar nyaman”.

Seorang perempuan ramah membawa koper besar berwarna kuning bertanya kepadaku, “eh kenapa kalau naik mira?”, “Itu ekonomi, mbak” jawabku pendek setengah kaget karena tidak sadar darimana datangnya perempuan itu. “Hmmm…okey kita naik patas, ya?”, tanyanya kubalas anggukan.

Aku melihat cahaya lampu bus datang, perasaanku mengatakan “itu dia, eka!”. Dengan tenang kunaikkan tas ransel ke punggung dan melangkah menuju bus yang baru datang. “Ah… sulitnya dapat bus kalau lagi rame begini” gumamku dalam hati sambil melihat bus yang tertutup rapat dan tidak boleh dimasuki meski di dalamnya ada kursi kosong. Bus yang begini artinya belum boleh masuk jalur dan menaikkan penumpang.

Perempuan itu menggeret kopernya mendekatiku dan kami sama-sama memendam harapan, pintu belakang akan dibukakan. Kecewa, kenyataannya pintu tidak dibuka. Kami kembali ke jalur patas Jogja, “yuk tunggu di sini saja, ya?”, ajakan ramahnya kuiyakan. Bus Eka masuk jalur namun gerakan para lelaki itu cepat dan bergerombol depan pintu, kami tak dapat jalan. Akhirnya bisa masuk tapi tidak dapat kursi dan harus keluar.

Tak sempat melumat rasa gelo, perempuan tadi mengajakku memutuskan, “ayo wes yo, mira wae, bismillah!”. Turun kami berdua dari bus eka, berpindah ke mira, banyak tempat kosong dan terhempaslah lelah berdiri sedari dari.

***

Malam ini, aku laksanakan pesan suami, naik eka. Tidak rebutan.

Tidak perlu menghalangi jalan orang demi memenuhi keinginan diri sendiri.

Aku pulang…
Dengan banyak bekal..
Yang pasti akan kubutuhkan dalam perjalanan menemani anak-anakku, keluargaku..
Juga mereka…

~Dari Jogjakarta, 29 April 2018

Sesuatu hari ini

Catatan Bunda

Kemaren anakku berbisik, “kalau adik sudah sembuh, aku minta anterin ke Bangil, aku mau beli tumbuhan kecil buat ayah. Hari ayah tanggal 18-11”

….
Hari ini dia tanya doa minta hujan. Saat daerah lain sudah hujan bahkan hpir tiap hari hujan, di daerah kami belum, maish gerimis aja.

….

Hari ini dia bilang, kecepatan bumi berputar pada lintangnya, 30km/detik.

Kecepatan cahaya 340.000km/detik

Dia masak nasi hari ini, mulai dari nyuci panci, nyuci beras dan memasang di majikom. Adiknya sakit, aku tidak sempat masak nasi.

Merencanakan Kehidupan

Anak Suket, Catatan Bunda

Tercengang saya saat mendapat jawaban demikian dari Damar.

Nguplek di dapur dengan setengah terburu-buru, setelah setengah mati mencari wlijo yang ada, karena wlijo langganan ternyata libur hari ini.

Ketika melihat anak-anak nglumpuk disekitar Damar yang sedang menggambar, saya pun bertanya “sampeyan lapo mas?”

“Merencanakan kehidupan” katanya…

“Aku sedang merencanakan kehidupanku biar ga salah pilih .”

“Maksudnya apa mas? Pasti ada hubungannya dengan keinginan sampeyan melihara elang”

“Hehe… Aku pengen punya rumah di hutan, jadi aku harus memilih pasangan yang sama dengan aku..”

“Maksudnya gimana? Sama ?”

“Iya..jangan sampai aku salah milih istri, kuajak tinggal di hutan ternyata dia suka buang sampah sembarangan, suka makein pempers ke anak, (-ada yang terlupa oleh saya-)…wah bisa kacau..nggak cocok”

“Oh gitu ya? Tapi tetap..memelihara elang bukan hal yang baik, karena habitatnya elang nggak dipelihara di rumah”

“Kan rumahku di hutan, elangnya di hutan juga..nanti kalau sudah besar bisa di lepas seperti febuci di Kazakhstan..”..

Aku tidak memperpanjang obrolan, rentetan list to do pagi tadi mengoyak konsentrasi untuk segera menyelesaikan masak.
Omah suket, 26 Oktober 2017

Jali dan Jagung

Catatan Bunda

Saya mengingat beberapa memori dari tumbuhan ini. Saat kecil, saya pernah ‘gemas’ dengan bijinya karena ada serpihan mirip daun di tengahnya. Serpihan ini membuntu ujung-ujung biji yang memiliki lubang yang tembus diantaranya. Dari lubang ini bisa dipasang tali untuk merangkai biji menjadi gelang, kalung, tasbih, tirai dll. Bagi sebagian orang mungkin tak masalah ada yang ‘membuntu’ asal tali tetap bisa tembus lubang biji. Bagi saya tidak, serpihan itu selalu saya bersihkan, saya cabut, dikorek dengan peniti sampai telihat ‘plong’ lubang ditengah biji. Tampak perfeksionis sekali.. akan tetapi keindahan rangkaian biji tidak akan terganggu dengan serpihan yang mencuat di tali antar biji..tak rapi..

Saya baru tahu namanya sekitar bulan Mei tahun ini (2017), dari Ayah Ain, Mas Yudi yang menyebutnya Jali. Dari Mas Yudi pula anak-anak mendapat beberapa biji untuk ditanam. 

Tiga pot diameter 15an disiapkan, anak-anak ikut serta. Masing-masing anak menyemai biji beberapa, ada yang 3 ada yang 4. Hari demi hari kami menunggu biji Jali bertumbuh. Beberapa tampak membusuk…kamipun putus asa. Minggu-minggu dilewati tanpa kemunculan tumbuhan baru. OK.. penyemaian Jali kali ini gagal, setidaknya menurutku begitu.

Pot saya pindah tempat, medianya saya jadikan satu. Beberapa biji yang masih utuh saya jadikan satu. Tak saya hiraukan. Pot yang tersisa saya bersihkan untuk dipakai tanaman yang lain. Sungguh mengejutkan ternyata setelah berbulan-bulan, biji Jali bertumbuh, tampak memutih berselimut seperti kapas, kemudian muncul titik hijau yang saya duga akan menjadi batang. Yang tumbuh ada dua…dari 9 atau 10-an biji, yang tumbuh dua… Mengejutkan dan saya merasa sangat bahagia.

Hari demi hari batang Jali tumbuh sangat mirip dengan Jagung. Setelah kira-kira tingginya mencapai 50cm, muncul tunas baru dari ujung bawah. Jadi, dari satu biji, keluar sebuah batang yang akhirnya memunculkan batang-batang lain dari arah bawah. 

Kami menunggu dengan terus menyirami Jali. Alangkah bahagia kalau bisa memetik biji Jali dari tumbuhan yang kami tanam dan rawat sendiri. 🙂

****

Jagung, tak berniat menanam, dia tumbuh sendiri dengan ijin Tuhan. Dengan media yang tak dipersiapkan, biji jagung bertumbuh tanpa persemaian. Jagung ini adalah biji jagung tersisa yang tidak dimakan ayam. Karena posisinya yang menghalangi jalan, mungkin tak bisa dibiarkan dia tumbuh menjulang.. kemungkinan jagung ini akan dicabut.

Begitu pula tumbuhan rambat yang saya duga adalah tumbuhan labu kuning. Saya masih ingat waktu itu menyuguhkan kukusan labu kuning untuk para pengebor sumur sekitar pertengahan Agustus. September kemaren, muncul semi dari bawah permukaan tanah yang keras dan panas…daunnya menjari, batang berbulu duri kasar yang tak nyaman saat dipegang.

Semakin lama pohon labu kuning ini semakin rimbun dan menghalangi kran samping rumah. Kemungkinan harus dicabut juga seperti jagung yang didekatnya.

Saya mencoba belajar tentang rumus kehidupan dari 2 tanaman jali dan jagung, ketambahan 1 lagi, labu kuning…

***

Omah Suket, 6 Oktober 2017

Belajar dari Lagu Leo Kristi – Salam dari Desa

Catatan Bunda

Siang ini, setelah dari Jum’atan, Mas mengambil biolanya dan latian. Tak biasa.. demi sebuah fasilitas berkunjung ke rumah om Yudi dan ngopy film Harry Potter besuk pagi, dia melakukan syarat yang diserukan ayah tadi pagi.

“Kalau hari ini ga latian biola, besuk kita ke LPKD tapi ga usah ngopy film” kata ayah saat akan berangkat kerja.

“Sebelum Ayah pulang, aku sudah harus latian..kalau enggaakk…bisa gagal copy Harry Potter” kata Mas sambil tertawa…

Saya ada di kamar, membuka hp dan melihat postingan Mas Yudi di fb, lagu Salam Dari Desa – Leo Kristi feat Kiai Kanjeng.

“Mas, sini Mas… Coba liat satu ini” seru saya mengajak Mas menyimak video yang diposting Mas Yudi.

Ditengah-tengah tayangan video itu Mas berkomentar, “semakin kesini, hidup semakin repot … Kalau dulu rumah lantainya tanah, simpel, ga perlu repot, kalau adik ngompol tinggal siram.. sekarang harus dibersihkan, dipel..

Sama itu juga.. petani yang ga takut kotor.. enak sekali bisa main tanpa kawatir baju kena kotoran..”

“Iya ya Mas..orang dulu ke sawah ga pakai sandal.. jalan kaki.. ga perlu jaketan meski panas matahari..sehat..”

“Iya…” Jawab Mas Damar…

Komentar yang orisinil dan menghentak saya. Iya benar, semakin maju semakin modern semakin repot.. semakin banyak yang pekerjaan yang harus dilakukan.. kadang menginjak-injak kemanusiaan.

*******

SALAM DARI DESA

Oleh : Leo Kristi & Kiai Kanjeng

Kalau ke kota esok pagi

Sampaikan salam rinduku

Katakan padanya

Padi-padi telah kembang
Ani-ani seluas padang 

Roda giling berputar-putar

Siang malam 

Tapi bukan kami punya
Kalau ke kota esok pagi 

Sampaikan salam rinduku

Katakan padanya 

Tebu-tebu telah kembang
Putih-putih seluas padang

Roda lori berputar-putar

Siang malam

Tapi bukan kami punya
Anak-anak kini telah pandai

Menyanyikan gema merdeka

Nyanyi-nyanyi bersama-sama

Di tanah-tanah gunung
Anak-anak kini telah pandai

Menyanyikan gema merdeka

Nyanyi-nyanyi bersama-sama

Tapi bukan kami punya

Tapi bukan kami punya

Tapi bukan kami punya
Tanah pusaka tanah yang kaya

Tumpah darahku di sana kuberdiri

Di sana ku mengabdi dan mati

Dalam cinta yang suci
Kalau ke kota esok pagi 

Sampaikan salam rinduku

Katakan padanya 

Nasi tumbuk telah masak
Kan kutunggu sepanjang hari

Kita makan bersama-sama 

Berbincang-bincang

Di gubuk sudut dari desa
Tapi bukan kami punya

Tapi bukan kami punya

Tapi bukan kami punya

Tapi bukan kami punya


Kasih sayang kita punya

*******

Tanggung Jawab

Anak Suket

Obrolan anak malam kamis, 1 Suro 1439 H..

Damar : “Cang, mainan di depanmu diberesin,Cang…”

Icang : “Duduk aku…”

Damar : “Iyo..masio duduk awakmu sing berantakin, tapi kene iku kudu melu tanggung jawab.. kan maen e bareng-bareng”

Naila : “iyo Cang.. koyo klambimu sing kotor,Cang.. kan sing ngumbah ibukmu”

Icang : “emmm…”

Damar : “ngene lo Cang, klambimu nek kotor sopo sing ngumbah? Ibukmu kan? Padahal sing garai kotor awakmu kan? Dadi kene iku masio ga melu berantakin,nek ono sing ga beres..kudu melu beresin Cang… cik saling bantu ..gakpopo masio duduk sing berantakin. Mari ngunu kan beres…”

Icang : ” iyo….”

Omah Suket, 21 September 2017

KaPeKa dan eFPeBe

Catatan Bunda

Malam itu setelah menemani anak-anak Suket sinau bareng di rumah, terbesit tanya,” Kira-kira apa ya maksudnya anak kelas 4 harus bisa KPK dan FPB?”…

Bukan tanpa alasan sih, mengingat, kadang yaa.. masih ada orang dewasa yang saat sekolah dulu dapat materi KPK dan FPB, ternyata sampai sekarang pun mengaku tidak bisa menghitung KPK dan FPB. Atau, kehilangan tujuan, untuk apa sih KPK dan FPB..? Tidak pernah menemukan kebutuhan riil akan teori tersebut dalam kenyataan.

Masalah yang ada, tahun kemaren saya memberikan cara untuk menghitung KPK dan FPB pada anak-anak yang waktu itu kelas 4, baik cara pakem dari buku dan ‘cara mudeng’ versi saya ketika mereka bingung dengan konsep pohon faktor. Setahun berlalu, kali ini mereka dapat materi itu lagi. Daann… mereka mengaku ‘ndak bisa’. Ini membuat saya merasa gagal dan berpikir ulang…apakah memang perlu materi yang tidak punya koneksi dengan dunia mereka?

Bagi saya, beda ketika anak-anak diberikan kasus mempelajari solusi dan menawarkan metode penghitungan menggunakan KPK atau FPBn dengan alih-alih menyuguhkan soal hitung KPK dan FPB dari 200 dan 625, misalnya. Yang suka matematika saja bisa lupa caranya, apalagi yang nggak suka (yang lebih banyak jumlahnya), bisa waleh.. bosan dengan soal serupa.

Pengulangan materi dengan hasil yang tetap saja (mereka tidak mengerti) semestinya menjadi koreksi, kenapa seperti ini dan bagaimana menyelesaikannya. Sungguh tidak efektif karena materi ‘cara menghitung’ KPK dan FPB tidak  mampu tertancap kuat di benak mereka.

Meski begitu, melihat anak-anak ini ‘butuh’ dalam rangka mampu menyelesaikan soal-soal LKS dan ujiannya kelak, tetap diulang kembali cara memperoleh KPK dan FPB dengan mengeksplorasi agar metodenya tertancap dan mudah diingat.
#KPK #FPB

#OmahSuket, 19 September 2017

Tak Ada Lagi Ini Budi

Catatan Bunda

Kemaren malam, 20 soal PR pilihan ganda dengan pertanyaan panjang-panjang itu aku bacakan dan ku jawab dengan memberi petunjuk pada Sofi untuk menyilang huruf yang mewakili pilihan jawaban.

Kutarik nafas panjang tiap kali membaca soal.. “haruskah anak kelas 1 mendapat soal dengan kalimat subjek predikat dan objek yang panjang-panjang begini?” Dalam batin aku dongkol…

Sungguh..terpaksa aku lakukan ini, merujuk jawaban tanpa diskusi. Tanpa menerangkan arti dari pertanyaan dan maksud dari masing-masing pilihan jawaban.. terlalu panjang dan butuh waktu yang lama sedangkan PR itu harus segera selesai, aku harus membantu anak-anak lain yang juga hendak mengerjakan PR dengan model soal yang lebih banyak lagi dan variatif, ada pilihan ganda, memasangkan, isian dan menjawab anatomi pencernaan manusia.

Hhrrgghhh… Aku emosiii…

“Nek ga ngerjakno PR diapakno Jon?” Tanya Sofi yang mulai santai.

“Yo kudi ngerjakno..ruwet nek ga ngerjakno. Awakmu diapakno nek ga ngerjakno PR”

“Dibiji nol..paling dimarahi pisan” jawab Sofi yang masih kelas 1

“Loohh..nek aku yo diseneni..sembarang kalir..iso digepuk barang”jawab Jono.

“Hah? Digepok ta rek?”tanyaku pada mereka..

“Iya bun…”

“Nek sik kecil nggak bun..dimarahi..kl yang besar ya dipukul..”jelas Sofi

***

Aku merasa hal seperti ini sangat mencederai pendidikan itu sendiri. Sekolah untuk pintar, tapi di sana mereka mengalami pembodohan.

Beban seorang Sofi menurut pengamatanku sangat besar. Dia yang kesulitan mengenal huruf dan angka, angka 2 terbalik dengan huruf S, angka b dan d jadi sama menurutnya, mengeja satu suku kata saja butuh waktu yang tidak sebentar baginya, dan setiap hari membawa pulang PR.

Asal muasal PR tiap hari ini karena saat di kelas, Sofi tidak bisa mengerjakan tugas..jadi di bawa pulang untuk dikerjakan di rumah. Walinya angkat tangan, merasa tidak bisa apa-apa untuk ngajari Sofi berpesan dan minta tolong padaku.. karena efektif sekolah TK cuma 6 bulan selebihnya banyak ijin karena sang bapak Sofi sakit dan meninggal, kemudian paman yang diikutinya kecelakaan dan meninggal pula.

“Seperti sampeyan tau mbak, saya ini orang madura yang ga diajari sekolah sama orang tua, saya mending cari uang dan bayar daripada disuruh ngajari anak sekolah” cerita sang Bibi tentang kondisinya.

Aku menyanggupi untuk ngajari Sofi..tapi tidak sanggup untuk dibayar. Biarlah itu…

Bayanganku tentang belajar bagi anak kelas 1 sangatlah menyenangkan.. bermain, menyanyi, bergerak menari atau senam, tebak-tebakan kata, merangkai sesuatu..ah senangnya…

Begitu sudah mulai aktif sekolah semua buyar.. nyaris tiap hari PR dia bawa pulang…

Kadang tak tega aku mengajarinya..saat matanya tampak buram dan ngantuk..ditambah badannya yang selalu bergerak dan tidak bisa fokus, konsentrasinya yang tidak bagus…aaahhhh…

Sabaarrr….

Di hari awal PR nya masih enak dikerjakan.. dia belum bisa baca, huruf sering lupa, jadi selalu aku bacakan.. kadang berulang-ulang agar bisa dimengerti.

“Sampeyan kalau di sekolah diajari baca nggak?”

“Nggak..”jawabnya

“Kenapa buku LKSnya sudah panjang-panjang begini?”

“Nggak tahu Bun..”jawabnya lesu

Aahh..iya nak..kamu nggak tahu.. tapi mereka yang tahu pun tak mau tahu..seusiamu beban sekolah seharusnya tak begini.

Pelan-pelan aku menulis untuk ditirukannya..

Budi mana lali… (Bukan kalimat)

Dimulainya lama sekali..akhirnya dia menatapku dengan nanar

“bunn…aku lupa ini apa..lama bun ga sinau membaca.. huruf s ta ini bun” hatiku berdesir sedih ..

Iya nak..ayo ulangi lagi.. belajar huruf lagi yuk.. bunda juga lupa kalau saat ini tidak ada lagi ini budi… Ga jaman belajar mengeja, dianggap semua anak sudah bisa baca..

Omah Suket, 13 September 2017